Sabtu, 19 November 2011

Pengaruh Emosi Terhadap Penyesuaian Pribadi Anak dan Penyesuaian Sosial

Pengaruh Emosi Terhadap Penyesuaian Pribadi Anak dan Penyesuaian Sosial

1. Emosi menambah perasaan senang pada pengalaman sehari-hari. Emosi marah dan emosi takut kadang-kadang dapat menambah rasa senang dalam kehidupan seorang anak karena memberi rangsangan pada anak tersebut. Misalnya, seorang anak yang berperilaku marah-marah. Perilakunya tersebut menyebabkan lingkungannya bereaksi sesuai dengan harapannya, maka dia akan senang memperlihatkan perilaku marah-marah dan sering memperlihatkan emosi marah tersebut.
2. Emosi mempersiapkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Semakin intens emosi, semakin keseimbangan tubuh perlu persiapan untuk berperilaku. Sebaliknya, apabila persiapan tidak diperlukan, anak akan menjadi gelisah dan tidak tenang, seolah-olah sebagai akibat dari faktor emosional tubuh.
3. Ketegangan emosi mengganggu ketangkasan motorik. Kesiapan tubuh untuk berperilaku dalam permainan ketangkasan motorik menjadi berat, menyebabkan anak menjadi kaku dan canggung, serta dapat mengakibatkan gangguan bicara antara lain menggagap.
4. Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi. Melalui perubahan raut wajah dan gerakan tubuh yang menyertai emosi, sebagai luapan emosi, anak mengungkapkan, menyampaikan perasaannya kepada orang lain, dan menentukan bagaimana perasaan orang lain.
5. Emosi mengganggu kegiatan mental. Berkonsentrasi, mengingat kembali, berpikir dan kegiatan mental lainnya sangat dipengaruhi emosi yang kuat. Anak yang emosinya terganggu, sangat kesal, dan sebal, akan memperlihatkan hasil belajar di bawah potensi yang dimilikinya.
6. Emosi mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, memperkuat interaksi sosial. Anak belajar bagaimana mengubah perilakunya agar sesuai dengan harapan umum dan standar sosial. Anak dari lingkungan yang menghargai musik akan senang belajar main alat musik sebagai dasar untuk dapat mengikuti drum band di kemudian hari.
7. Emosi mewarnai pandangan hidup anak. Sifat-sifat anak mempengaruhi cara anak memandang peran hidup dan posisinya dalam kelompok sosial. Anak yang pemalu akan mempunyai pandangan hidup berbeda dibandingkan anak yang agresif.
8. Emosi terlihat dari ekspresi wajah. Seorang anak yang beremosi senang akan memperlihatkan sorotan mata yang baik. Sebaliknya seorang anak yang beremosi tidak senang, akan memberi kesan pandangan tidak menarik. Seseorang akan tertarik atau merasa segan oleh ekspresi wajah orang lain. Emosi memegang peranan penting dalam penerimaan sosial (social acceptance).
9. Respons emosional, apabila diulang-ulang, membentuk kebiasaan. Setiap ekspresi emosional yang memberikan kepuasan pada anak akan diulang-ulang dan terbentuklah kebiasaan. Apabila anak bertambah usianya dan menyadari reaksi orang lain terhadap ekspresi emosinya tidak menyenangkan, maka agak sulit untuk menghapus kebiasaan tersebut. Perilaku yang merupakan reaksi yang tidak menyenangkan bagi orang lain, secepat mungkin harus diperbaiki agar tidak menetap.
10. Emosi mempengaruhi keadaan psikologis. Di rumah, sekolah, tetangga, kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana psikologis dan sebaliknya. Anak yang memperlihatkan perilaku dengan temper tantrums (misalnya berguling-guling di lantai), mengganggu orang lain dan menimbulkan suasana emosi dengan kemarahan atau caci maki. Hal tersebut mengakibatkan anak merasa dirinya tidak dicintai.
Demikianlah, sejak bayi seorang anak akan memperlihatkan perkembangan emosi dengan ungkapan emosi yang berkaitan dengan rangsangan tertentu. Sejalan dengan perkembangan emosi, seorang anak juga memperlihatkan gerakan dan bunyi-bunyian. Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh dirinya sendiri, kesehatan tubuhnya dan terpacu oleh kegiatan bermain.


http://amirblogger1991@ymail.com

TIPS DAN KIAT MENJADI PRIBADI YANG KUAT..

8 Tips Menjadi Pribadi Kuat

Berikut tips-tips untuk menjadi pribadi yang kuat:
1. Lakukan Segala Aktivitas dengan Ikhlas, Sabar, dan Syukur
Apa pun yang kita lakukan awalilah dengan keikhlasan. Ikhlas berarti melakukan sesuatu tanpa pamrih. Yakinlah, ketika kita melakukan sesuatu dengan tidak ikhlas„ bersiaplah untuk kecewa. Kalau saja kecewa merupakan hasil dari sesuatu yang kita lakukan, penyakit stres pun akan menghampiri kita. Sekian persen energi kita akan terbuang percuma hanya untuk sebuah kekecewaan.
Ikhlas akan menjauhkan kita dari kekecewaan. Ikhlas menjadikan kita memiliki kepedulian social yang tinggi. Apalagi keikhlasan tersebut dibarengi rasa sabar, akan membentuk pribadi yang tangguh, bijak, dan dewasa dalam bertindak.
Sabar dalam bertindak berarti kita melakukan sesuatu tanpa tergesa-gesa atau terburu-buru. Tidak ada suatu pekerjaan (aktivitas) yang dilakukan dengan tergesa-gesa akan menghasilkan hal yang menyenangkan. Biasanya ketergesagesaan akan melahirkan kekecewaan, sebab kita melakukan sesuatu tanpa perencanaan dan perhitungan yang matang. Kegundahan terus merasuki diri.
Sabar harus menjadi bagian hjdup kita. Rasa sabar akan menuntun kita selalu bertindak menjadi penebar kesejukan pada semua orang. Rasa sabar membantu kita mampu mengontrol emosi dengan balk. Kalau saja rasa sabar sudah menyatu dalam diri kita, rasa syukur pun akan menghiasi kehidupan kita. Ada semacam sandaran vertikal yang begitu kokoh yang selalu menuntun kita dalam setiap gerak dan langkah kehidupan.
2. Berpikir Positif
Marah, kecewa, cemburu, iri, dan dengki adalah sumber stres. Karena itu kita harus menjauhinya. Berpikirlah positif terhadap siapa pun dan apa pun yang kita lakukan. Jangan kotori pikiran dan hati kita dengan hal-hal yang dapat merusak ketenteraman atau ketenangan diri. Selalulah mengambil hikmah dan hal-hal yang positif dari setiap aktivitas yang kita lakukan kepada siapa pun dan di mana pun.
3. Kondisikan Hidup Menyenangkan
Beban hidup yang tinggi, masalah yang bertumpuk, dan tanggung jawab yang besar sering menjadi sumber stres. Jika ini terjadi, biasanya akal sehat kita terkalahkan oleh emosi. Jangan putus asa, kondisikan hidup ini menyenangkan. Anggaplah kita sebagai orang yang mampu memecahkan segala masalah dengan bijaksana. Selalulah berpikir bahwa kita ini termasuk orang yang memiliki pribadi yang menyenangkan.
4. Santai
Lakoni hidup ini dengan hal-hal yang menyenangkan dan segarkan pikiran dari hal-hal yang menjemukan. Lepaskan diri dari kepenatan yang melanda. Berusahalah untuk mencuri waktu sejenak guna melenturkan otot saraf yang terasa menegang. Prinsipnya melakukan sesuatu jangan terlalu dipaksakan. Lakukan segala aktivitas secara terencana dan dalam keadaan santai.
5. Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan adalah hal yang penting dalam hidup ini. Sehat jasmani dan rohani akan berpengaruh pada kepercayaan diri kita dalam beraktivitas. Hanya orang sehat (jasmani dan rohani) yang mampu berkomunikasi dengan baik. Sehat jasmani tentu sangat didukung oleh pemahaman kita pada pola-pola hidup sehat. Kita senantiasa menjaga keseimbangan makanan. Tidak berlebihan atau tidak kekurangan.
5. lstirahat
Tubuh memiliki keterbatasan daya tahan. Karena itu, jangan pernah meremehkan hak badan (istirahat). Istirahat yang cukup (7-8 jam) akan memberikan kesegaran tubuh. Istirahat adalah salah satu wujud kepedulian dan cinta kita pada diri sendiri. Tanpa ini berarti kita tidak mencintai diri sendiri. Istirahat sangat membantu memulihkan kondisi tubuh dan membantu kita untuk selalu tampil fresh (percaya diri).
6. Sikapi Kegagalan Secara Wajar
Setiap aktivitas yang kita lakukan pasti mengandung risiko (apakah risiko yang menyenangkan atau menyebalkan). Yang agak sulit adalah menghadapi atau menerima kegagalan, sebab terkadang kita tidak siap menerima kegagalan. Bahkan tak jarang ketika kita harus menerima kegagalan seakan kita kehilangan energi untuk menghadapinya. Akibatnya, kita pun sering putus asa, menyerah atau pasrah pada keadaan. Padahal kegagalan adalah hal yang biasa dalam hidup ini clan tentunya juga harus disikapi secara wajar. Yang terpenting adalah setiap kali kita menemukan kegagalan kita mau mengevaluasi diri dan berusaha bangkit dari kegagalan tersebut.
7. Peduli dengan Lingkungan
Menciptakan lingkungan yang kondusif adalah cara yang tepat menghindarkan diri dari munculnya stres. Peduli dengan lingkungan tidak hanya semata-mata menjaga kebersihan tetapi sejauhmana kita mampu menciptakan suasana yang kondusif dalam menunjang prestasi diri. Misalnya, gemar (aktif) melakukan kegiatan sosial atau membantu teman/ orang lain secara suka rela. Kepedulian terhadap lingkungan akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup kita. Du-kungan yang besar akan selalu kita peroleh atau dengan kata lain lingkungan menjadi begitu bersahabat dengan kita ketika kita begitu peduli dengan lingkungan.
8. Refreshing
Kehidupan ini yang begitu sarat dengan perubahan terkadang menyisakan persoalan-persoalan yang membutuhkan antisipasi diri. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki manusia menyebabkan kita harus andai-pandai menyiasati keadaan. Bila tidak, kita akan menanggung akibatnya. Letih, lemah, lesu, atau capek dan sebagainya adalah potret diri yang menunjukkan adanya keterbatasan dalam diri kita. Robot saja yang mampu bekerja tanpa henti (dengan kendali remote control) suatu saat akan mengalami penurunan kualitas kemampuan. Kuda pedati yang memiliki tenaga luar biasa juga tidak mampu terus menerus bekerja tanpa henti.

NORMA DAN NILAI DALAM MASYARAKAT

Norma dan Nilai dalam Masyarakat

Dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal istilah norma atau kaidah, yang mempunyai anti suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto, 1989).
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut peraturan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan dari kepentingan hidup dengan aman, tertib, dan (Jamul tanpa gangguan tersebut, maka diperlukan suatu tata (orde—ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin.
Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan, dan tata itu lazim disebut kaidah (bahasa Arab), norma (bahasa latin), atau ukuran-ukuran yang menjadi pedoman. Menurut isinya, norma-norma tersebut dibagi menjadi dan macam, yaitu sebagai berikut.
- Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karena akibatnya akan dipandang baik.
- Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibatnya akan dipandang tidak baik. Artinya, norma bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada manusia mengenai bagaimana seharusnya seseorang bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan dan dihindari (Kansil, 1989).
Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi alas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut.
Semestinya taat aturan tidak akan berbicara sambil mengisap rokok di hadapan tamu atau orang yang dihormatinya ketika menerima tamu di rumah, dan sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap tidak sopan walaupun merokok itu tidak dilarang.
- Seorang tamu yang hendak pulang, menurut tata krama harus diantar sampai di muka pintu rumah atau kantor, bila tidak maka sanksinya hanya berupa celaan karena dianggap sombong dan tidak menghormati tamunya.
Etika menggunakan telepon rumah
- Menjawab telepon setelah berdering tiga kali dan mengucapkan salam. Jika menjawab telepon dengan kasar, maka sanksinya dianggap “interupsi” yang menunjukkan ketidaksenangan yang tidak sopan dan tidak menghormati si penelepon atau orang yang ada di sekitarnya.
- Orang yang mencuri barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, maka sanksinya cukup berat dan bersangkutan dikenakan sanksi hukuman, baik hukuman pidana penjara maupun perdata (ganti rugi).
Dalam pergaulan hidup, norma terbagi menjadi empat bagian, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum. Dalam pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma nonhukum (umum) dan norma hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah sebagai berikut:
Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:
- kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman.
- kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nurani yang berakhlak berbudi luhur (akhlakul kharimah).
Aspek kehidupan antarpribadi (bermasyarakat) meliputi:
- kaidah atau norma sopan santun, tata krama, dan etiket dalam pergaulan bermasyarakat sehari-hari (pleasant living together);
- kaidah-kaidah hukum yang tertuju pada terciptanya ketertiban, kedamaian, dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian atau ketenteraman (peaceful living together). Sedangkan, masalah norma nonhukum adalah masalah yang cukup penting dan selaniutnya akan dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi humas seperti nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai atau aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, serta wajib dipatuhi dan ditaati.
Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang perawat ketika merawat kliennya atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana—sebagai profesional—menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur, jujur, bermoral, penuh integritas, dan bertanggung jawab. Terlepas dari mereka sebagai profesional tersebut jujur atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya, atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat. Dalam hal ini yang ditekankan adalah sikap atau perilaku mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama atau kehidupan manusia.
Pada akhirnya nilai moral, etika, kode perilaku, dan kode etik standar profesi bertujuan memberikan jalan, pedoman, tolok ukur, dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan di berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Pengambilan keputusan etis atau etik merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya, secara matang baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara objektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab atau integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subjektif), tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan yang lebih luas (objektif).

http://amirblogger1991@ymail.com

BENTUK KARYA SASTRA MODERN DAN BENTUK –BENTUK PROSA..


BENTUK KARYA SASTRA MODERN DAN BENTUK –BENTUK PROSA..


Karya sastra modern lahir setelah munculnya pergerakan nasional atau bukan pada zaman kerajaan atau zaman dahulu. Bentuk-bentuk karya sastra modern:
1. Puisi
Unsur instrinsik puisi:
Diksi adalah kata-kata yang harus dipilih seorang penyair dalam menciptakan puisi. Kata-kata tersebut tentu kata yang mengungkapkan perasaan dan keindahan.
Imaji adalah upaya penyair dalam membangkitkan daya khayal pembaca tentang peristiwa atau perasaan yang dialami penyair sehingga pembaca ikut merasakannya.
Majas adalah merupakan pengungkapan bahasa yang dipilih penyair untuk memperjelas maksud. menimbulkan kesegaran, dan menimbulkan kejelasan perasaan atau gambaran angan-angan.
Rima adalah persamaan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk menimbulkan keputusan dan memperjelas maksud.
Irama adalah pergantian turun-naik. panjangpendek. keras-lembut ucapan bunyi bahasa secara teratur dalam puisi.
Unsur ekstrinsik puisi:
Contoh:
Pendidikan pengarang, sejarah pengarang, latar belakang pengarang, dan agama pengarang.
Teknik membaca puisi, antara lain:
- Ucapan dengan gerakan wajar. tidak perlu dibuat-buat.
- Ucapan harus jelas.
Syarat membaca puisi yang baik, yaitu:
- Harus memahami isi puisi.
- Intonasi dan artikulasi tepat.
- Pemberian jeda tekanan pada kata-kata penting.
- Mengeja kata-kata dengan jelas disertai mimik yang sesuai dengan puisi yang disampaikan.
2. Cerpen
Cerpen adalah karangan pendek berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, baik yang mengharukan, menyedihkan. menggembirakan, atau berupa pertikaian dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
Ciri-ciri cerpen:
- Ceritanya fiktif dan aspek cerita yang menimbulkan efek dan kesan tunggal.
- Mengungkapkan masalah yang terbatas pada hal-hal penting saja.
- Menjanjikan peristiwa yang cermat dan jelas.
3. Drama
Drama adalah cerita atau karangan yang menyajikan bentuk perilaku di atas pentas atau penggung yang berupa dialog.
Macam-macam drama:
- Komedi, adalah cerita yang di dalamnya mengandung humor.
- Tragedi, adalah cerita yang di dalamnya mengandung kesusahan.
- Tragedi komedi, adalah cerita yang di dalamnya mengandung humor dan kesusahan silih berganti.
- Opera/musikal. adalah drama yang dilakukan bersama-sama dengan iringan musik.

·         CONTOH PROSA LAMA
Kita dapat membedakan dengan cepat antara puisi dan prosa rekaan dan struktur fisiknya. Yang dapat dilihat secara sepintas dan struktur fisik prosa rekaan adalah pengaturan kata-katanya.
Dalam bentuk tertulis, kata-kata yang terdapat dalam prosa rekaan memenuhi seluruh halaman dan tepi kiri sampai kanan. Kumpulan kata dibentuk menjadi kalimat. Hal ini berbeda dengan puisi. Di dalam puisi, kumpulan kata akan membentuk baris. Kalimat dalam prosa rekaan dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik (.) atau tanda akhir berupa tanda tanya atau tanda seta (? atau !). Kalimat-kalimatnya membentuk paragraf, bukan bait. Kebanyakan paragraf ditulis menjorok ke dalam lima sampai tujuh ketukan, demikian juga dialog antartokohnya.
Dalam bentuk lisan, prosa rekaan lebih banyak berupa cerita. Bentuk ini mempunyai tokoh, jalan cerita, latar cerita, terra, nilai-nilai yang disampaikan yang cukup jelas. Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa baru (modern).
Prosa Lama
Prosa lama mempunyai bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Hikayat, bentuk sastra lama yang berisi cerita kehidupan para dewa, peri, pangeran atau putri kerajaan, serta raja-raja yang mempunyai kehidupan luar biasa dan gaib.
2) Sejarah atau tiambo, salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
3) Dongeng. bentuk sastra lama yang bercerita tentang sesuatu kejadian yang luar biasa dan penuh khavalan, tentang dewa-dewa, peri-peri, putri-putri cantik, dan sebagainya. Fungsi dongeng haruslah sebagai penghibur. Oleh karena itu, dongeng disebut juga cerita pelipur lara.
Prosa Baru (Modern)
Prosa baru merupakan pancaran dari masyarakat baru. Karya-karya prosa yang dihasilkan oleh masyarakat baru Indonesia mulai fleksibel dan bersifat universal; ditulis dan dilukiskan secara lincah serta bisa dinikmati oleh lingkup masyarakat yang lebih luas.
Bentuk-bentuk prosa baru, antara lain sebagai berikut:
1) Roman berisi cerita tentang kehidupan manusia yang dilukiskan seeara terperinci atau detail. Berdasarkan isinya, roman dapat dibagi menjadi roman sejarah, roman sosial, roman jiwa, roman tendens.
2) Cerpen singkatan dari Cerita pendek; adalah karangan pendek yang berbentuk naratif. Cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan manusia yang penuh pertikaian, mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
3) Novel, karangan imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas probematika kehidupan manusia atau beberapa orang tokoh.
4) Otobiografi, berisi kisah cerita tentang pribadi si pengarang sendiri, mengenai pengalaman hidupnya sejak kecil hingga dia dewasa.
5) Biografi, berisi suatu kisah atau cerita tentang pengalaman hidup seseorang dari kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia yang ditulis oleh orang lain.
6) Essay, karangan yang berupa kupasan tentang suatu hasil karya sastra, kesenian, atau bidang kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya.
7) Kritik: kupasan tentang satu karya sastra, kesenian, serta bidang kebudayaan yang ditulis oleh seorang ahli dengan menekankan pada fakta yang objektif.

amirblogger1991@ymail.com

Jumat, 18 November 2011

TEORI PSIKOLOGI TENTANG PERKEMBANGAN ANAK...

Teori Psikososial tentang Perkembangan

Seperti telah kita kemukakan, perkembangan berlangsung melalui tahap-tahap — seluruhnya ada delapan tahap menurut jadwal yang dikemukakan Erikson. Empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan khusus diletakkan pada masa adolesen karena masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting bagi kepribadian dewasa. Identitas, krisis-krisis identitas. dan kekacauan identitas merupakan konsep-konsep Erikson yang sangat terkenal.

Harus dicatat bahwa tahap-tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut suatu jadwal kronologis yang ketat. Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri, karena itu akan menyesatkan kalau ditentukan lama berlangsungnya secara eksak masing-masing untuk setiap tahap. Lagi pula, setiap tahap tidak dilewati dan kemudian ditinggalkan. Sebaliknya masing-masing tahap ikut serta dalam membentuk seluruh kepribadian. Meminjam kata-kata Erikson,

“… apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama- sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi” (1968, him. 92).

Ini dikenal sebagai prinsip epigehetik (epigenetic principle), suatu istilah yang dipinjam dari ilmu mudigah (embriologi).
Dalam menguraikan kedelapan tahap perkembangan psikososial, kami menghimpun dan mengutip bahan dari empat sumber. Dalam Childhood and Society (1950, 1963), dan kemudian dalam Identity: Youth and Crisis (1968), Erikson membagi tahap- tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego yang muncul pada masing-masing tahap. Dalam Insight and Responsibility (1964) ia membicarakan kebajikan-kebajikan atau kekuatan-kekuatan ego yang muncul selama tahap-tahap yang berturutan. Dalam bukunya yang terbaru, Toys and Reasons (1976), ia menguraikan ritualisasi yang khas untuk masing-masing tahap. Ritualisasi yang dimaksudkan Erikson adalah suatu cara serba main-main (play- ful) namun dipolakan oleh kebudayaan dalam mengerjakan atau mengalami sesuatu dalam pergaulan sehari-hari antara individu- individu. Maksud utama ritualisasi-ritualisasi ini ialah menjadi- kan individu yang sedang matang anggota masyarakat yang efektif dan tidak canggung. Sayang, ritualisasi-ritualisasi dapat menjadi kaku dan menyeleweng serta berubah menjadi ritualisme-ritualisme.

I. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik-oral dan ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman, dan membuang kotoran dengan santai. Setiap hari, manakala jam-jam jaganya meningkat, bayi itu menjadi semakin biasa dengan pengalaman-pengalaman inderawi dan keterbiasaannya ini dibarengi dengan perasaan senang. Situasi-situasi yang menyenangkan dan orang-orang yang bertanggungjawab menimbulkan kenyamanan ini menjadi akrab dan dikenal oleh bayi. Berkat kepercayaan dan keakrabannya dengan orang yang menjalankan fungsi keibuan ini, maka bayi tersebut mampu menerima bahwa orang tersebut mungkin tidak ada untuk sementara waktu. Prestasi sosial pertama yang dicapai bayi tersebut mungkin karena ia mengembangkan suatu kepastian dan kepercayaan dalam dirinya bahwa orang yang bersifat keibuan itu akan kembali. Kebiasaan-kebiasaan, konsistensi, dan kontinuitas sehari-hari dalam lingkungan bayi merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui kontinuitas pengalaman dengan orang-orang dewasa bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka; tetapi mungkin yang lebih penting, ia belajar mempercayai dirinya sendiri. Kepastian semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar — yakni, kecurigaan dasar yang, pada pokoknya adalah esensial bagi perkembangan manusia.

Perbandingan yang tepat antara kepercayaan dasar dan kecurigaan dasar mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. “Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup” (1964, hlm. 115). Fondasi pengharapan terletak pada hubungan-hubungan pertama dengan orangtua keibuan dan dapat dipercaya yang responsif terhadap kebutuhan-kebutuhannya, yang memberikan pengalaman-pengalaman sebegitu memuaskan, seperti ketenangan, makanan, dan kehangatan. Semua verifikasi pengharapan berasal dari dunia-ibu dan anak. Melalui sejumlah pengalaman yang terus meningkat di mana pengharapan bayi diverifikasikan, ia memperoleh inspirasi tentang keberpengharapan baru. Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan-pengharapan yang dikecewakan, dan menemukan pengharapan dalam tujuan-tujuan dan kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang. Dia mempelajari pengharapan-pengharapan macam manakah yang terdapat dalam batas-batas kemungkinannya dan mengarahkan pengharapan-pengharapannya selaras dengan batas kemungkinan tersebut. Manakala ia. menjadi dewasa, ia menyadari bahwa pengharapan-pengharapan yang pernah diberi prioritas tinggi kini digantikan dengan serangkaian pengharapan yang bertingkat lebih tinggi atau yang lebih maju. Erikson menyatakan, “Pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat kuat, terlepas dari dorongan-dorongan dan kegemaran-kegemaran suram yang menandai permulaan eksistensi” (1964, hlm. 118).

Tahap pertama kehidupan ini, masa bayi, merupakan tahap ritualisasi numinous. Yang dimaksudkan Erikson dengan numinous adalah perasaan bayi akan kehadiran ibu yang bersifat keramat, pandangannya, pegangannya, sentuhannya, senyumannya, teteknya, caranya memanggil dengan nama, pendek kata “pengakuannya” atas dirinya. Interaksi-interaksi yang berulangulang ini bersifat sangat pribadi namun diritualisasikan dalam kebudayaan. Pengakuan ibu terhadap bayi meneguhkan dan meyakinkan bayi serta hubungan timbal baliknya dengan ibu. Tiadanya pengakuan dapat menyebabkan keterasingan dalam kepribadian bayi; sejenis perasaan bahwa is dipisahkan (separation) dan dibuang (abandonment).
Masing-masing tahap awal ini membentuk suatu ritualisasi yang dilanjutkan ke masa kanak-kanak dan menambah ritual- ritual masyarakat. Bentuk ritual numinous yang menyimpang terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau idolisme.

II. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan
Pada tahap kedua kehidupan (tahap muskular-anal dalam skema psikoseksual) anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban-kewajiban dan hak-haknya disertai apakah pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru dan yang lebih berorientasi pada kegiatan, menimbulkan sejenis tuntutan ganda pada anak; tuntutan untuk mengontrol diri sendiri, dan tuntutan untuk menerima kontrol dari orang-orang lain dalam lingkungan. Untuk mengendalikan sifat penuh kemauan anak, orang-orang dewasa akan memanfaatkan kecenderungan universal pada manusia untuk merasa malu; namun mereka akan mendorong anak untuk mengembangkan perasaan otonomi dan akhirnya mandiri. Orang-orang dewasa yang melakukan kontrol juga harus benar-benar bersikap membombong. Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi

dalam melakukan pilihan bebas. Penanaman/rasa malu secara berlebihan hanya akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau memaksanya mencoba melarikan diri dari hal-hal dengan berdiam diri, tidak suka berterus terang, dan serta bertindak dengan diam-diam. Inilah tahap saat berkembangnya kebebasan pengungkapan — diri dan sifat penuh kasih sayang. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap; sebaliknya rasa kehilangan kontrol-diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.

Nilai kemauan muncul pada tahap kedua kehidupan ini. Kemauan-diri yang terlatih dan contoh kemauan luhur yang diperlihatkan oleh orang-orang lain merupakan dua sumber dari mana nilai kemauan berkembang. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang-orang lain apa yang diharapkan dan apa yang boleh diharapkan. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu meneri ma peraturan huk um dan kewajiban. Unsur-unsur kemauan bertambah secara berangsur-angsur melalui pengalaman-pengalaman yang melibatkan kesadaran dan perhatian, manipulasi, verbalisasi, dan lokomosi atau gerak. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri, dan bertindak, yang terus meningkat.

Erikson menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana (judicious), karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orangorang lain serta membedakan antara benar dan salah. Ia mengembangkan kemampuan menghayati suatu rasa benar atau salah pada tindakan-tindakan dan kata-kata tertentu, yang menyiapkan kemampuan untuk mengalami perasaan bersalah dalam tahap berikutnya. Anak juga belajar membedakan antara “jenis kami” (our kind) dan orang-orang lain yang dinilai berbeda; karena itu orang-orang lain yang tidak sama dengan jenisnya sendiri secara otomatis dinilai salah atau buruk. Ini merupakan dasar ontogenetik dari keterasingan yang melanda seluruh dunia yang disebut spesies yang terpecah ( divided species). Dalam tulisan-tulisan lain, Erikson menyebut ini pseudospesies, yakni sumber prasangka di dalam diri manusia.

Periode ritualisasi sifat bijaksana dalam masa kanak-kanak ini dalam siklus kehidupan merupakan sumber ritual pengadilan pada masa dewasa yang tercermin dalam pemeriksaan di ruang pengadilan dan prosedur-prosedur dengan mana putusan salah atau tak bersalah ditetapkan. Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf-huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, pengutamaan hukuman daripada belas kasih. Orang yang legalistik mendapatkan kepuasan melihat orang yang di-nyatakan bersalah dihukum dan direndahkan, terlepas apakah hal itu merupakan tujuan hukum atau bukan.

III. Inisiatif versus Kesalahan
Tahap psikososial ketiga, yang setara dengan tahap lokomotor-genital dalam psikoseksualitas, ialah tahap inisiatif, suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih “seimbang” secara fisik maupun kejiwaan. Inisiatif bersama-sama dengan otonomi memberikan kepada anak suatu kualitas sifat mengejar, merencanakan, serta kebulatan tekad dalam menyelesaikan tugas-tugas dan meraih tujuan-tujuan. Bahaya dari tahap ini adalah perasaan bersalah yang dapat menghantui anak karena terlampau bergairah memikirkan tujuan-tujuan, termasuk fantasi-fantasi genital, menggunakan cara-cara agresif serta manipulatif untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Anak mulai ingin sekali belajar, dan mampu belajar dengan baik pada usia ini; ia berjuang untuk tumbuh dalam arti melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menunjukkan prestasi-prestasi.

Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi-eksplorasinya, usaha-usaha dan kegagalan-kegagalannya, serta eksperimentasinya dengan alat-alat permainannya. Di samping permainan-permainan fisik, ia melakukan juga permainan-permainan kejiwaan dengan memerankan peranan orangtua dan orang-orang dewasa lain dalam suatu permainan khayalan. Dengan meniru gambaran-gambaran orang dewasa ini sedikit banyak anak mengalami bagaimana rasanya menjadi seperti mereka. Permainan memberikan kepada anak sejenis kenyataan perantara; ia bisa belajar tentang tujuan benda-benda, hubungan antara dunia dalam dan dunia luar, dan bagaimana ingatan-ingatan masa lampau bisa diterapkan pada tujuan-tujuan masa depan. Dengan demikian, permainan yang bersifat khayalan dan bebas sangat penting bagi perkembangan anak. “Maka, tujuan adalah keberanian untuk merumuskan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai yang bebas dari hambatan fantasi-fantasi kanak-kanak, rasa bersalah dan ketakutan akan hukuman” (1964, hlm. 122).

Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian-kepribadian orang dewasa, dan berpura-pura menjadi apa saja mulai dari seekor anjing sampai seorang astronot. Tahap ritualisasi awal ini, memberikan unsur dramatik dalam ritual-ritual (misalnya drama yang pada dasarnya merupakan suatu ritual) sepanjang sisa hidup anak. Keterasingan batin yang dapat timbul pada tahap masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaan bersalah.

Padanan negatif ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup. Seorang dewasa memainkan peranan-peranan atau melakukan tindakan-tindakan untuk menampilkan suatu gambaran yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.

IV. Kerajinan versus Inferioritas
Pada tahap keempat dalam proses epigenetik ini (dalam skema Freud, periode laten) anak harus belajar mengontrol imajinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Ia mengembangkan suatu sikap rajin dan mempelajari ganjaran dari ketekunan dan kerajinan. Perhatian pada alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi-situasi produktif dan alat-alat serta perkakas-perkakas yang dipakai untuk bekerja. Bahaya dari tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil (atau menjadi merasa demikian) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan orangtuanya.

Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Nilai-nilai dari tahap-tahap sebelumnya (pengharapan, kemauan, dan tujuan) memberikan kepada anak suatu gambaran tentang tugas-tugas di masa mendatang, meskipun belum sangat spesifik. Kini anak membutuhkan pengajaran spesifik tentang metode-metode fundamental agar bisa menyesuaikan diri dengan gaya kehidupan teknis. la siap dan punya kemauan untuk mempelajari dan memakai perkakas-perkakas, mesin-mesin, serta metode-metode sebagai persiapan ke arah pekerjaan orang dewasa. Segera setelah ia mengembangkan kecerdasan dan kapasitas-kapasitas secukupnya untuk bekerja, penting bahwa ia menerjunkan diri pada pekerjaan ini untuk mencegah timbulnya perasaan inferioritas dan regresi ego. Dalam arti ini, pekerjaan meliputi banyak dan beraneka macam bentuk, seperti pergi ke sekolah, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, memikul berbagai tanggungjawab, belajar musik, mempelajari aneka pekerjaan tangan, dan ikut dalam permainan-permainan dan olah raga-olah raga yang membutuhkan ketrampilan. Yang penting adalah bahwa anak harus menggunakan kecerdasan dan energinya yang melimpah untuk aktivitas dan tujuan tertentu.

Rasa kompetensi dicapai dengan meneijunkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas-tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan kerja. Asas-asas kompetensi mempersiapkan anak pada suatu perasaan cakap bekerja di masa mendatang; tanpa itu anak akan merasa rendah diri. Selama usia ini, anak ingin sekali mempelajari teknik-teknik produktivitas. “Maka, kompetensi merupakan penggunaan ketrampilan dan kecerdasan untuk menyelesaikan tugas-tugas, yang tidak terhambat oleh perasaan rendah diri serba kekanak-kanakan” (1964, hlm. 124).
Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Mengamati dan mempelajari metode-metode kerja memberikan kepada anak suatu rasa memiliki kualitas berupa ketrampilan dan kesempurnaan. Apa saja yang dilakukan oleh anak — entah ketrampilan-ketrampilan di sekolah atau tugas-tugas di rumah — akan dikerjakannya dengan baik.
Penyimpangan ritualismenya di masa dewasa ialah formalisme, berwujud pengulangan formalitas-formalitas yang tidak berarti dan ritual-ritual kosong.

V. Identitas versus Kekacauan Identitas
Selama masa adolesen, individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Sang pribadi mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia di masa yang akan datang. Inilah masa untuk membuat rencana-rencana karier.

Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ialah ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat, kemampuan-kemampuan, dan ketrampilan-ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang-orang yang sependapat, dan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, serta menjaga pertahanan-pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan, karena ia telah mampu memutuskan impuls-impuls, kebutuhan-kebutuhan, dan perananperanan manakah yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.

Karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas. Keadaan ini dapat menyebabkan orang merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Remaja merasa bahwa ia harus membuat keputusan-keputusan penting tetapi belum sanggup melakukannya. Para remaja mungkin merasa bahwa masyarakat memaksa mereka untuk membuat keputusan-keputusan, sehingga mereka justru menjadi semakin menentang. Mereka sangat peka terhadap cara orang-orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu.

Selama kekacauan identitas, remaja mungkin merasa bahwa ia mundur bukannya maju, dan, pada kenyataannya suatu kemunduran periodis ke sifat kanak-kanak kiranya merupakan suatu alternatif menyenangkan terhadap keterlibatan kompleks dalam masyarakat orang dewasa yang dituntut darinya. Tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan selama masa kacau ini. Pada suatu saat ia menutup diri terhadap siapa pun karena takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Pada saat berikutnya ia mungkin ingin menjadi pengikut, pencinta, atau murid, dengan tidak menghiraukan konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya itu.

Istilah krisis identitas menunjuk pada perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang stabil, atau sebaliknya suatu kekacauan peranan. Masing-masing tahap yang berturut-turut itu, pada kenyataannya, “merupakan suatu potensi krisis disebabkan karena terjadinya perubahan yang radikal dalam perspektif’ (1968, hlm. 96). Akan tetapi agaknya secara istimewa krisis identitas adalah berbahaya karena seluruh masa depan individu generasi berikutnya sepertinya tergantung pada penyelesaian krisis ini.

Yang juga sangat mengganggu adalah berkembangnya identitas negatif, yakni perasaan memiliki sekumpulan sifat yang secara potensial buruk atau tidak berharga. Cara yang sangat lazim dipakai orang untuk mengatasi identitas negatif ialah memproyeksikan sifat-sifat yang buruk itu kepada orang-orang lain. “Merekalah yang buruk, bukan saya.” Proyeksi serupa itu dapat mengakibatkan banyak patologi sosial termasuk prasangka dan kejahatan, serta diskriminasi terhadap berbagai kelompok orang,

Keterasingan yang disebabkan karena tidak dimilikinya suatu ideologi yang terintegrasi adalah kekacauan identitas. Penyimpangan ritualisasi ideologi yang mungkin terjadi adalah totalisme. Totalisme ialah preokupasi fanatik dan eksklusif dengan apa yang kelihatannya sungguh-sungguh benar atau ideal.

VI. Keintiman versus Isolasi
Dalam tahap ini, orang-orang dewasa awal (young adults) siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangankan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka mungkin harus berkorban. Sekarang untuk pertama kalinya dalam kehidupan mereka, anak-anak muda itu dapat mengembangkan genitalitas (genitality) seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan mitra yang dicintai. Kehidupan seks dalam tahap-tahap sebelumnya terbatas pada menemukan identitas seksual dan berjuang menjalin hubungan-hubungan akrab yang bersifat sementara. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak mengadakan hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang perlu membuat pilihan-pilihan, tetapi, tentu saja, juga dapat menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat.

Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman. Nilai dominan yang bersifat universal ini, yakni cinta, muncul dalam banyak bentuk selama tahap-tahap sebelumnya, mulai dengan cinta bayi terhadap ibunya, kemudian cinta birahi pada remaja, dan akhirnya cinta yang diungkapkan dalam bentuk kepedulian terhadap orang-orang lain pada orang dewasa. Meskipun cinta sudah nampak dalam tahap-tahap sebelumnya, namun perkembangan keintiman yang sejati hanya muncul setelah menginjak usia remaja. Orang-orang dewasa awal kini mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama di mana mereka saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim. Erikson menulis, “Maka, cinta adalah pengabdian timbal balik yang mengalahkan antagonisme-antagonisme yang melekat dalam fungsi yang terpecah” (1964, hlm. 129). Meskipun identitas individual seseorang dipertahankan dalam suatu hubungan keintiman bersama, namun kekuatan egonya tergantung pada kesiapan mitranya untuk berbagi peran dalam membesarkan anak-anak, berbagi produktivitas, dan berbagi pandangan tentang hubungan mereka.

Ritualisasi pada tahap ini ialah afiliatif, yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Ritualismenya, yakni elitisme, terungkapkan lewat dengan pembentukan kelompok-kelompok eksklusif yang merupakan suatu bentuk narsisisme komunal.

VII. Generativitas versus Stagnasi
Ciri tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan — keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya — serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi-generasi mendatang. Transmisi nilai-nilai sosial ini diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, dan mengalami pemiskinan serta stagnasi.

Nilai pemeliharaan (care) berkembang dalam tahap ini. Pemeliharaan terungkap dalam kepedulian seseorang pada orang-orang lain, dalam keinginan memberikan perhatian pada mereka yang membutuhkannya serta berbagi dan membagi pengetahuan dan pengalaman dengan mereka. Ini tercapai lewat kegiatan membesarkan anak dan mengajar, memberi contoh, dan mengawasi. Manusia sebagai suatu spesies memiliki kebutuhan inheren untuk mengajar, suatu kebutuhan yang dimiliki oleh semua orang dalam setiap bidang pekerjaan. Manusia mencapai kepuasan dan pemenuhan dengan mengajar anak-anak, orang-orang dewasa, bawahan-bawahan, bahkan binatang-binatang. Fakta-fakta, logika, dan kebenaran-kebenaran terpelihara dari generasi ke generasi berkat semangat mengajar ini. Aktivitas memelihara dan mengajar menjamin kelangsungan hidup kebudayaan, lewat pengulangan atas adat-istiadat, ritual-ritual, dan legenda-legendanya. Kemajuan setiap kebudayaan ada di tangan orang-orang yang memiliki cukup kerelaan untuk mengajar dan menjalani kehidupan yang patut dicontoh. Aktivitas mengajar juga menumbuhkan dalam diri manusia suatu perasaan vital bahwa mereka dibutuhkan oleh orang-orang lain, suatu perasaan bahwa diri mereka berarti, yang membuat mereka tidak terlalu asyik dan terbenam dalam diri mereka sendiri. Selama masa kehidupan seseorang banyak pengalaman dan pengetahuan berhasil dikumpulkan, seperti pendidikan, cinta, pekerjaan, filsafat, dan gaya hidup. Semua aspek kehidupan ini harus dipelihara dan dilindungi, sebab semua itu merupakan pengalaman-pengalaman yang berharga. Pengalaman-pengalaman ini dipelihara dengan cara diteruskan dan diberikan kepada orang-orang lain.

AMIRBLOGGER1991@YMAIL.COM